Benarkah Wong Jogja Ilang Jogjane? Sebuah Refleksi
Benarkah Wong Jogja Ilang Jogjane? Tulisan ini tanggapan dari komplain tulisan sebelumnya dengan judul "Karena macet wong jogja ilang Jogjane. Saya hanya ingin komentar,”Anda bukan terjebak macet. Anda-lah PENYEBAB kemacetan itu". Kemacetan Justru Alat Pengembali Karakter Wong Jogja.
Sebelum ngeluh karakter pengendara lain yang ga karuan, coba ngaca. Anda protes macet itu dalam keadaan naik apa? Mobil? Motor? Dokar? Transjogja? Jangan-jangan, kita sendirilah pencipta kemacetan itu. Anda berharap macet hilang? Ngimpi!
Kemacetan telah terlalu kompleks untuk dimusnahkan. Mau bukti?
Pemerintah tidak cukup melakukan solusi-solusi umum seperti membatasi pemakaian kendaraan pribadi, integrasi angkutan umum, peningkatan tarif parkir, penambahan kapasitas jalan, menata PKL, hingga penugasan aparat di jam-jam macet.
Di tahun 2015 saja, Jogja dapet pemasukan 1,2 Triliun dari hasil pajak kendaraan bermotor. Pajak motor menyumbang 41% pemasukan. Mau membatasi motor? Mau kehilangan 41% pendapatan?
Bahkan, sekelas negara pun tidak cukup meng-copypaste kebijakan negara-negara lain yang berhasil mengatasi kemacetan.
Baca juga : Akibat Macet Wong Jogja Ilang Jogjane
Jepang mengusir macet dengan pembatasan emisi dan membuat biaya parkir dan tol semakin mahal.
Singapura memasang harga dan pajak sangat tinggi untuk kendaraan bermotor, penerapan Electronic Road Pricing, sistem dua plat mobil, serta asuransi.
Negeri mbah Vladimir Putin sampai harus ngedhuk-edhuk lemah untuk menciptakan jalur kereta bawah tanah yang terintegrasi dengan jalur bus dan MRT yang biasa disebut Golden Ring.
Paling dekat mungkin kita meniru Malaysia yang memindahkan ibu kota ke Putrajaya. Itu pun belum cukup.
Karena di Jogja, Anda harus memotong akar masalahnya; makin bertambahnya penduduk Jogja (baik pendatang maupun asli) diiringi makin mudahnya kredit mobil.
Jogja ingin mengurangi pendatang? Coba cek video yang menampilkan Jogja tahun 93. Sempat viral beberapa waktu lalu. Anda akan lihat. Dari dulu Jogja sudah semrawut.
Bedanya, dulu kendaraan belum banyak. Jadi meski semrawut, belum kerasa macetnya. Di tahun itu, Jogja sudah penuh dengan pelajar. Menutup akses bagi pendatang, bisa jadi merugikan Jogja sendiri.
Apakah kita perlu membuat aturan warga Jogja maksimal hanya punya satu anak? Karena coba kita lihat…
Setiap satu keluarga, menghasilkan satu atau dua anak. (bahkan lima!) Yang tadinya cukup naik motor atau ngangkot, mulai merasa perlu beli mobil.
Belum kalau anak-anak ini masuk usia sekolah. Mereka akan merengek minta dibelikan mobil. Minimal motor. Penyebab kemacetan Jogja ialah karena setiap lahirnya bayi, diiringi dengan dibelinya motor-mobil.
Andaikan kita ini pemerintah, rasa-rasanya kita perlu melakukan tindakan-tindakan ekstrim seperti mengurangi pertumbuhan penduduk.
Pilihannya antara mewajibkan KB atau merencanakan pembunuhan massal seperti Thanos. Di sini kita sudah harus berhadapan dengan kaum agamawan yang menolak KB dan pejuang HAM yang bahkan hak semut ditindas pun ia tak rela.
Pilihan lainnya, mungkin Anda harus menaikkan harga mobil sekaligus mempersulit kredit kendaraan. Artinya, Anda perlu berkoalisi dengan para pejuang anti riba dan debt collector.
Tapi, di waktu bersamaan sanggupkah Anda godaan SPG mobil yang cantik-cantik itu?
Sanggupkah Anda terlambat dianggap sukses karena ga segera punya mobil? Kuatkah Anda dirasani tonggo?
Anda ingin menolak impor mobil? Siap-siaplah kembali digruduk Jepang dan Eropa!
Belum protes dari saudara sendiri yang anaknya kerja di dealer mobil atau malah pabriknya.
Maka, mengurai kemacetan itu sudah muspro. Dana maksimal, hasil minimal. Ada baiknya kita melirik pilihan sikap lain; menerima macet.
Sebagaimana falsafah “nrimo ing pandum”, sudah saatnya mengganti pertanyaan dari bagaimanacara memberantas macet, tapi sudah saatnya kita “Bagaimana menikmati macet?”
Sebagai warga biasa yang tak pernah dapet kawalan di jalan, saya terpaksa memiliki keahlian khusus dalam hal menikmati macet.
Mulai dari dengerin radio, baca buku, ngelamun, sampai zikir. Cara ini mengubah saya yang tadinya senewen tiap mobil ga jalan-jalan, hingga berubah menjadi mengalami orgasme spiritual bila macet itu menghadang.
“Terapi Syukur” ini membawa banyak perubahan. Saya merasakan saat jalanan makin padat, justru makin nikmat. Makin macet, makin cepet trance menuju puncak kenikmatan spiritual.
Kalau Anda semobil dengan saya saat macet, Anda bisa saksikan sendiri. Betapa tubuh saya bergetar hebat saking dalamnya rasa cinta pada macet itu. Sayangnya, saya tidak selalu bisa menjadi Wali Al-Macetiyah.
Seringnya saya malah seperti kawula Jogja lainnya yang suka berhalusinasi dipanggil Ngarsa Dalem untuk “ngudarasa” terkait masalah-masalah di tlatah Jogja ini. Salah satunya, soal macet.
Sebuah solusi mengatasi macet yang Jogja banget. Semoga Kanjeng Sultan berkenan. Dan saya minta masukan sedulur ICJ sekalian. Monggo masukannya.
Baca Juga : Pengalaman Nginep di Apartement Horor Jogja
Jadi begini..
Seperti Anda tahu Jogja dikenal dengan keramahannya. Sayangnya, rasa guyub lan ngayomi khas Jogja ini malah diamputasi oleh aturan lalu lintas yang tidak utuh dalam melihat karakter orang Jogja.
Mari kita kuliti pelan-pelan sambil ngopi dan ngemil pisang goreng.
Bagi saya, berkendara adalah momen kita bertemu dengan ribuan orang asing. Anda merasa tidak dikenal dan mengenal sesama pengguna jalan. Akibatnya?
Anda tega-tega saja memotong jalurnya. Cuek-cuek saja mengklaksonnya keras-keras. Kan ga kenal? Ga bakal ketemu lagi juga kan?
Karena itulah, langkah pertama agar slogan “Macet boleh, ngamuk jangan” ini terwujud, kita perlu membuat agar sesama pengguna jalan merasa saling kenal. Seperti keluarga sendiri.
Hingga nantinya, anak SMA yang lagi naik motor, tidak berani kebut-kebutan, asal nyalip dan klakson, karena setiap ketemu pemotor yang lebih tua, mereka seolah ketemu orang tua kandung.
Mbak-mbak mas-mas yang sudah kerja, dan sedang ngebut menuju kantor karena keburu meeting, akan rela memberi jalan pada “adek ketemu gede di jalan” seperti anak-anak SD yang ingin nyebrang ke sekolah. Sehingga rambu-rambu “Awas banyak anak kecil” tak lagi diperlukan.
Begitu juga orang-orang tua. Tidak akan geleng-geleng melihat polah tingkah anak muda yang slengean sewaktu naik motor.
Mereka akan berbuat penuh kasih. Memperlakukan pemotor yang belum punya SIM itu laiknya anak sendiri. Kalo pelajar itu kena razia, para orang tua akan “menebus” mereka bahkan kalo perlu nglunasi cicilan motornya. Hehe…
Oh, begitu indah Jogja.
Sampai di sini, Anda mungkin menganggap saya berkhayal saja dan ide ini tidak mungkin diwujudkan. Padahal, gagasan saya ini sangat realistis. Bahkan, saya telah menyiapkan juklak dan juknisnya.
REVOLUSI ATURAN LALU LINTAS
Pertama-tama, Anda perlu memperbaiki aturan lalu lintas.
Aturan lalu lintas sampai saat ini hanya mengatur motor dan mobil. Tapi, bukan manusianya. Mengatur mesin, tapi bukan hati.
Yang diatur hanyalah soal kecepatan maksimal 40km/ jam, wajib menyalakan lampu saat siang hari, berhenti saat lampu merah, dan hal-hal lain yang teknis, mekanistis, dan kering.
Itu adalah cara-cara kuno dalam mengendalikan lalu lintas. Untuk sekelas orang Jogja, Anda perlu membuat aturan yang menyentuh hati, menyambung silaturahmi. Ubah paradigma.
Manajemen transportasi bukan sekedar mengatur infrastruktur. Transportasi adalah sarana penyambung silaturahmi. Saya bagikan beberapa contohnya di paragraf berikut.
Misalnya, saat nunggu lampu merah, pengendara diwajibkan salaman ke kanan kirinya dan saling kenalan. Kalau ingin mendahului, tidak cukup nyalakan sein kanan. Tapi juga teriakkan, “Kula nuwun, kula rumiyin!”
Alih-alih melarang klakson yang menyerupai bunyi klakson milik aparat, ciptakanlah klakson yang bila dipencet akan berbunyi,”Ndherek langkung!”
Begitu juga saat jalanan mulai pamer paha alias padat merayap tanpa harapan. Buatlah aturan bahwa setiap pengendara wajib membawa telur, nasi megono, dan teh anget. Sehingga mereka bisa gendurenan di jalanan. Gayeng! Sama-sama macet, mending macet dalam keadaan penuh kehangatan to?
Terakhir, konvoi partai dan fans sepak bola juga diatur. Mereka boleh saja pawai bawa motor, tapi wajib sambil mlaku ndhodhok....
Demikian tanggapan dari netizen Info cegatan Jogja dari tulisan sebelumnya Wong Jogja Ilang Jogjane
Sebelum ngeluh karakter pengendara lain yang ga karuan, coba ngaca. Anda protes macet itu dalam keadaan naik apa? Mobil? Motor? Dokar? Transjogja? Jangan-jangan, kita sendirilah pencipta kemacetan itu. Anda berharap macet hilang? Ngimpi!
Kemacetan telah terlalu kompleks untuk dimusnahkan. Mau bukti?
Pemerintah tidak cukup melakukan solusi-solusi umum seperti membatasi pemakaian kendaraan pribadi, integrasi angkutan umum, peningkatan tarif parkir, penambahan kapasitas jalan, menata PKL, hingga penugasan aparat di jam-jam macet.
Di tahun 2015 saja, Jogja dapet pemasukan 1,2 Triliun dari hasil pajak kendaraan bermotor. Pajak motor menyumbang 41% pemasukan. Mau membatasi motor? Mau kehilangan 41% pendapatan?
Bahkan, sekelas negara pun tidak cukup meng-copypaste kebijakan negara-negara lain yang berhasil mengatasi kemacetan.
Baca juga : Akibat Macet Wong Jogja Ilang Jogjane
Jepang mengusir macet dengan pembatasan emisi dan membuat biaya parkir dan tol semakin mahal.
Singapura memasang harga dan pajak sangat tinggi untuk kendaraan bermotor, penerapan Electronic Road Pricing, sistem dua plat mobil, serta asuransi.
Negeri mbah Vladimir Putin sampai harus ngedhuk-edhuk lemah untuk menciptakan jalur kereta bawah tanah yang terintegrasi dengan jalur bus dan MRT yang biasa disebut Golden Ring.
BUTUH SOLUSI EKSTRIM UNTUK ATASI MACET
Paling dekat mungkin kita meniru Malaysia yang memindahkan ibu kota ke Putrajaya. Itu pun belum cukup.
Karena di Jogja, Anda harus memotong akar masalahnya; makin bertambahnya penduduk Jogja (baik pendatang maupun asli) diiringi makin mudahnya kredit mobil.
Jogja ingin mengurangi pendatang? Coba cek video yang menampilkan Jogja tahun 93. Sempat viral beberapa waktu lalu. Anda akan lihat. Dari dulu Jogja sudah semrawut.
Bedanya, dulu kendaraan belum banyak. Jadi meski semrawut, belum kerasa macetnya. Di tahun itu, Jogja sudah penuh dengan pelajar. Menutup akses bagi pendatang, bisa jadi merugikan Jogja sendiri.
Apakah kita perlu membuat aturan warga Jogja maksimal hanya punya satu anak? Karena coba kita lihat…
Setiap satu keluarga, menghasilkan satu atau dua anak. (bahkan lima!) Yang tadinya cukup naik motor atau ngangkot, mulai merasa perlu beli mobil.
Belum kalau anak-anak ini masuk usia sekolah. Mereka akan merengek minta dibelikan mobil. Minimal motor. Penyebab kemacetan Jogja ialah karena setiap lahirnya bayi, diiringi dengan dibelinya motor-mobil.
Andaikan kita ini pemerintah, rasa-rasanya kita perlu melakukan tindakan-tindakan ekstrim seperti mengurangi pertumbuhan penduduk.
Pilihannya antara mewajibkan KB atau merencanakan pembunuhan massal seperti Thanos. Di sini kita sudah harus berhadapan dengan kaum agamawan yang menolak KB dan pejuang HAM yang bahkan hak semut ditindas pun ia tak rela.
Pilihan lainnya, mungkin Anda harus menaikkan harga mobil sekaligus mempersulit kredit kendaraan. Artinya, Anda perlu berkoalisi dengan para pejuang anti riba dan debt collector.
Tapi, di waktu bersamaan sanggupkah Anda godaan SPG mobil yang cantik-cantik itu?
Sanggupkah Anda terlambat dianggap sukses karena ga segera punya mobil? Kuatkah Anda dirasani tonggo?
Anda ingin menolak impor mobil? Siap-siaplah kembali digruduk Jepang dan Eropa!
Belum protes dari saudara sendiri yang anaknya kerja di dealer mobil atau malah pabriknya.
Maka, mengurai kemacetan itu sudah muspro. Dana maksimal, hasil minimal. Ada baiknya kita melirik pilihan sikap lain; menerima macet.
NARIMO ING MACET...
Sebagaimana falsafah “nrimo ing pandum”, sudah saatnya mengganti pertanyaan dari bagaimanacara memberantas macet, tapi sudah saatnya kita “Bagaimana menikmati macet?”
Sebagai warga biasa yang tak pernah dapet kawalan di jalan, saya terpaksa memiliki keahlian khusus dalam hal menikmati macet.
Mulai dari dengerin radio, baca buku, ngelamun, sampai zikir. Cara ini mengubah saya yang tadinya senewen tiap mobil ga jalan-jalan, hingga berubah menjadi mengalami orgasme spiritual bila macet itu menghadang.
“Terapi Syukur” ini membawa banyak perubahan. Saya merasakan saat jalanan makin padat, justru makin nikmat. Makin macet, makin cepet trance menuju puncak kenikmatan spiritual.
Kalau Anda semobil dengan saya saat macet, Anda bisa saksikan sendiri. Betapa tubuh saya bergetar hebat saking dalamnya rasa cinta pada macet itu. Sayangnya, saya tidak selalu bisa menjadi Wali Al-Macetiyah.
Seringnya saya malah seperti kawula Jogja lainnya yang suka berhalusinasi dipanggil Ngarsa Dalem untuk “ngudarasa” terkait masalah-masalah di tlatah Jogja ini. Salah satunya, soal macet.
Sebuah solusi mengatasi macet yang Jogja banget. Semoga Kanjeng Sultan berkenan. Dan saya minta masukan sedulur ICJ sekalian. Monggo masukannya.
Baca Juga : Pengalaman Nginep di Apartement Horor Jogja
IDE GILA ATASI MACETNYA JOGJA
Jadi begini..
Seperti Anda tahu Jogja dikenal dengan keramahannya. Sayangnya, rasa guyub lan ngayomi khas Jogja ini malah diamputasi oleh aturan lalu lintas yang tidak utuh dalam melihat karakter orang Jogja.
Mari kita kuliti pelan-pelan sambil ngopi dan ngemil pisang goreng.
Bagi saya, berkendara adalah momen kita bertemu dengan ribuan orang asing. Anda merasa tidak dikenal dan mengenal sesama pengguna jalan. Akibatnya?
Anda tega-tega saja memotong jalurnya. Cuek-cuek saja mengklaksonnya keras-keras. Kan ga kenal? Ga bakal ketemu lagi juga kan?
Karena itulah, langkah pertama agar slogan “Macet boleh, ngamuk jangan” ini terwujud, kita perlu membuat agar sesama pengguna jalan merasa saling kenal. Seperti keluarga sendiri.
Hingga nantinya, anak SMA yang lagi naik motor, tidak berani kebut-kebutan, asal nyalip dan klakson, karena setiap ketemu pemotor yang lebih tua, mereka seolah ketemu orang tua kandung.
Mbak-mbak mas-mas yang sudah kerja, dan sedang ngebut menuju kantor karena keburu meeting, akan rela memberi jalan pada “adek ketemu gede di jalan” seperti anak-anak SD yang ingin nyebrang ke sekolah. Sehingga rambu-rambu “Awas banyak anak kecil” tak lagi diperlukan.
Begitu juga orang-orang tua. Tidak akan geleng-geleng melihat polah tingkah anak muda yang slengean sewaktu naik motor.
Mereka akan berbuat penuh kasih. Memperlakukan pemotor yang belum punya SIM itu laiknya anak sendiri. Kalo pelajar itu kena razia, para orang tua akan “menebus” mereka bahkan kalo perlu nglunasi cicilan motornya. Hehe…
Oh, begitu indah Jogja.
Sampai di sini, Anda mungkin menganggap saya berkhayal saja dan ide ini tidak mungkin diwujudkan. Padahal, gagasan saya ini sangat realistis. Bahkan, saya telah menyiapkan juklak dan juknisnya.
REVOLUSI ATURAN LALU LINTAS
Pertama-tama, Anda perlu memperbaiki aturan lalu lintas.
Aturan lalu lintas sampai saat ini hanya mengatur motor dan mobil. Tapi, bukan manusianya. Mengatur mesin, tapi bukan hati.
Yang diatur hanyalah soal kecepatan maksimal 40km/ jam, wajib menyalakan lampu saat siang hari, berhenti saat lampu merah, dan hal-hal lain yang teknis, mekanistis, dan kering.
Itu adalah cara-cara kuno dalam mengendalikan lalu lintas. Untuk sekelas orang Jogja, Anda perlu membuat aturan yang menyentuh hati, menyambung silaturahmi. Ubah paradigma.
Manajemen transportasi bukan sekedar mengatur infrastruktur. Transportasi adalah sarana penyambung silaturahmi. Saya bagikan beberapa contohnya di paragraf berikut.
Misalnya, saat nunggu lampu merah, pengendara diwajibkan salaman ke kanan kirinya dan saling kenalan. Kalau ingin mendahului, tidak cukup nyalakan sein kanan. Tapi juga teriakkan, “Kula nuwun, kula rumiyin!”
Alih-alih melarang klakson yang menyerupai bunyi klakson milik aparat, ciptakanlah klakson yang bila dipencet akan berbunyi,”Ndherek langkung!”
Begitu juga saat jalanan mulai pamer paha alias padat merayap tanpa harapan. Buatlah aturan bahwa setiap pengendara wajib membawa telur, nasi megono, dan teh anget. Sehingga mereka bisa gendurenan di jalanan. Gayeng! Sama-sama macet, mending macet dalam keadaan penuh kehangatan to?
Terakhir, konvoi partai dan fans sepak bola juga diatur. Mereka boleh saja pawai bawa motor, tapi wajib sambil mlaku ndhodhok....
Demikian tanggapan dari netizen Info cegatan Jogja dari tulisan sebelumnya Wong Jogja Ilang Jogjane