Akibat Macet Wong Jogja Ilang Jogjane
Wong Jogja Ilang Jogjane – Pernyataan ini dirasakan oleh penulis setidaknya 3 tahun terakhir. Warga Yogja yang dulu dikenal ramah-tamah, guyub-rukun, ringan membantu, dan sopan-santun tapi rasa-rasanya telah banyak berubah. kondisi ini bisa kita rasakan saat berada dijalanan. Apabenar, kemacetan di jalanlah yang menjadi penyebabnya?.
Cerita dimulai, setiap pagi saya menghantarkan anak2 ke sekolah. Karena ada sekitar lima anak yang harus diantar, maka biar efisien harus memakai mobil. untuk sampai sekolah, dari rumah saya harus keluar dari gang dan belok kanan. Artinya saya harus memotong jalan raya, karena belok kanan. Sementara sekitar 50 meter ke kanan dari mulut gang ada perempatan lampu merah. Dari sini sudah pahamkan?
Jalanan Jogja Tiga Tahun Lalu
Mengingat kembali, 3 tahun lalu kalau saya keluar mulut gang saya menyeberang dengan sangat mudah. Kondisi jalan juga relatif lengang. toh kalau pun ada kendaraan yang mau melintas, kita serasa paham akan mudah saling memberi jalan. Bahkan tak jarang kita malah saling berebut untuk lebih dahulu memberi jalan. Artinya menyuruh orang lain untuk maju duluan.
Namu berbeda dengan hari ini, Hari ini, kondisi jalanan sudah berubah. Kalau saya menghantarkan anak sekolah, sudah bisa dipastikan didepan gang rumah telah terjadi antrian yang cukup panjang, yaitu sejak dari lampu merah sampai depan mulut gang. Alhasil saya harus berhenti lama untuk menunggu jalanan agak longgar agar saya bisa memotong jalan dan berbelok ke kanan.
Kalaupun saya memaksakan untuk nyebrang, mungkin karena dikejar waktu, itu susahnya minta ampun, karena arus ke kanan tidak memberi ruang, otomatis maka mobil saya akan menutup arus dari kanan (dari lampu merah). Bila seperti ini, akan membuat kemacetan baru hingga ke perempatan lampu merah tadi. alhasil kemacetan justru semakin kompleks
Wong Jogja
Ilang Jogjane
Hari ini
rasa rasanya semakin sulit menemukan, pengemudi yang dengan santun memberi
ruang untuk jalan, karena sadar jika tidak diberi jalan justru akan menyebabkan
kemacetan lain. Yang ada sekarang pengemudi seakan-akan tak rela jika sejengkal
ruang didepan kendaraannya tersisa untuk pengendara lain. Setiap ada ruang
kosong selalu diperebutkan, siapa yang cepat dia yang dapat, tanpa memikirkan
resikonya. Semua orang serba terburu-buru, tidak ingin terlambat sampai kantor
maupun sekolah.
Demikian
dengan saya tak ingin telambat. Akhirnya, gaya mengemudi saya lambat laun juga
harus menyesuaikan jalanan. Kalau dulu saya ragu untuk berbelok karena takun membikin
kemacetan baru, kini saya menjadi cuek. Karena kalau tidak nekat, anak2 pasti
akan terlambat ke sekolah. Dari pengalaman saya ini, saya bisa menyimpulkan
kalau kemacetan ini lambat laun akan Merubah karakter saya sendiri maupun warga yogja lainnya.
Kemacetan juga dialami teman yang lain
Bukan saya
sendiri, ternyata apa yang saya rasakan juga mulai dirasakan oleh teman-teman.
mulai dari teman kerja hingga tetangga juga mengeluhkan akan hal ini. yogja
yang semula jarang didengar klakson dijalanan, kini semakin riuh, saling
berebut. Antrian lampu merah yang semula rapi, kini selalu melebar kanan kiri.
Bahkan tak sedikit yang menjorok ke depan garis batas mapun samping. Rasa rasanya
pemandangan ini tak ubahnya kota Jakarta. Sebagaimana dikeluhkan netizen di sosal
media.
Atas kondisi
ini, hampir semua orang berharap kemacetan ini segera berakhir minimal tidak
semakin menjadi jadi. Tapi melihat jalanan dan pembelian mobil yang tiap tahun
makin banyak, harapan itu tinggal kenangan. Bahkan justru tiap tahun akan
bertambah macet.
Data
menunjukkan, pada tahun 2019, Pemprov DIY melalui BKAD merilis berita bahwa
setiap tahun di yogja kurang lebih terdapat 120 ribu kendaraan baru. Baik itu kendaraan
roda 4 maupun kendaraan roda 2. Dengan komposisi 40% kendaraan roda 4 dan 60%
kendaraan roda 2. Dari sini sudah terbayangkan, berapa banyak kendaran baru
memenuhi jalanan yogja setiap tahunnya, ditambah lagi kendaraan lama yang
jumlahnya mungkin sudah ratusan bahkan jutaan ribu.
BACA JUGA : Benarkah Wong Jogja Ilang Jogjane?
Problem Jalanan Yogyakarta
Bertambahnya
kendaran ternyata tidak dibarengi dengan penambahan ruas jalan, apalagi di area
perkotaan sepertinya mustahil. Kalaupun bisa diperluas, saya yakin tidak bisa
membendung banjir kendaraan yang tiap tahun kian bertambah. Jadi bisa
dipastikan jalanan makin padat kemacetan makin sulit teruai.
Perkembangan
jaman ini sepertinya sulit untuk dibendung, tak ayal jika kemacetan dan
bertambahnya penduduk di Yogyakarta ini pelan tapi pasti akan mengubah karakter
penggunanya maupun warganya. Warga yogja yang semula dikenal ramah, akhirnya
mudah menjadi pemarah. Orang jogja yang semula ringan membantu, mudah menjadi tak peduli. Sadar tidak sadar kemacetan
di yogja telah merenggut karakter asli warga yogjakarta. Di jalanan Wong Jogja ilangJogjane, dijalan orang Jogja hilang karakter ke-Jogja-annya.
Solusi Kemacetan
Meski telat,
tapi tidak ada salahnya jika pemprov DIY dan warga yogja baik asli maupun pendatang
mulai memilih menggunakan trasportasi publik, pemprov DIY harus menyiapkan
alat transportasi massal yang ramah, terpadu dan tersambung secara baik dan
cepat, dan transportasi yang saling terhubung dari Kota Yogja, Bantul, Sleman,
Gunung Kidul dan Kulon Progo, agar para pekerja diluar Yogja bisa menggunakan
trasportasi massal jika hendak bekerja begitu pula sebaliknya.
Demikian
curhatan dan solusi yang coba ditawarkan penulis atas keruwetan dan kemacetan
jalanan di Yogja, agar wong jogja ora ilang jogjane.
sumber InfoCegatan Jogja