Pengalaman Mengatasi Culture Shock Di Kota Yogyakarta
YOGYAKARTA - Gesang Anita yang
kerap disapa Caca adalah seorang mahasiswi asal Lampung yang sedang menempuh
pendidikannya di Jogja. Bisa melanjutkan pendidikan di kota pelajar ini memang
sudah ia damba-dambakan sejak kira-kira 7 tahun yang lalu, yang mana ia harus meninggalkan
kampung halamannya dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Perbedaan budaya menjadi salah satu tantangan bagi para mahasiswa rantau yang berasal dari luar Jawa. Fenomena tersebut sering dikenal sebagai culture shock /gegar budaya. Tak jarang mahasiswa yang mengalami culture shock di awal perkuliahannya, misalnya terjadinya kesalahpahaman dikarenakan bahasa yang digunakan. Kebanyakan mahasiswa luar Jawa tidak mengetahui Bahasa Jawa, sementara bahasa Jawa adalah bahasa yang sering digunakan dalam berkomunikasi. Hal itu merupakan salah satu contoh culture shock dari sekian banyak culture shock yang dialami oleh setiap mahasiswa.
Sebelumnya, udah pada tau belum sih apa itu culture shock? Secara umum, culture shock/gegar budaya/kejut budaya adalah seseorang yang merasakan keterkejutan terhadap suatu budaya di lingkungannya yang baru. Hal itu dikarenakan budayanya yang berbeda dengan daerah asalnya. Orang tersebut biasanya akan mengalami kebingungan dan cemas dengan budaya di lingkungan baru tersebut, dia takut apabila tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungannya yang baru. Tentunya hal ini tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa, siapapun bisa merasakannya dan tidak memandang umur maupun status orang tersebut. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan penjelasan yang lebih detail terkait dengan culture shock.
Istilah “culture shock” pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (dalam Dayaksini, 2004) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingaran budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. (Chasannah, Uswatun. 2017)
Caca (20) sempat shock di awal perkuliahannya, ia menyadari bahwa ia tak dapat menghindari culture shock ini. Perbedaan budaya, bahasa, perilaku, dan suasana di Jogja sangat berbanding terbalik dengan suasana di kampung halamannya.
“Awalnya nih, aku sempet bingung pas denger orang ngomong ‘selo’, udah kayak nebak-nebak artinya tapi kok ngga nyambung juga.”
Bahasa menjadi tantangan culture shock yang paling kerasa. Awalnya memang terasa sulit bagi Caca, akan tetapi seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan Bahasa Jawa. Bungsu dari 3 bersaudara itu pun harus belajar menambah kosakata Bahasa Jawa yang sering digunakan sehari-hari. Sedikit demi sedikit ia mulai tahu apa arti opo, sopo, ning endi, meski belum banyak tetapi setidaknya ia sudah mengerti perkataan umum yang sering digunakan.
Tentu saja bukan hanya perihal bahasa, culture shock, yang ia alami. Ia juga sempat terkejut dengan bagaimana cara orang Jawa menunjukkan arah kepada orang lain. Kalau di daerah asalnya Lampung, menunjukkan arah ditunjukkan dengan menunjukkan kanan atau kiri. Berbeda dengan di Jawa, mereka menunjukkan arah kepada orang lain dengan menggunakan arah mata angin. Pernah suatu waktu di awal perkuliahannya saat berkomunikasi dengan salah satu bapak gojek.
“Mbak jalan ke arah timur ya, saya ada di seberang jalan ya”, kata salah seorang driver ojek online kepada Caca.
Dia mengaku sempat kebingungan dan mengatakan bahwa dia tidak terlalu paham dengan arah mata angin. Karena keadaan yang memaksakan dia untuk mengerti arah mata angin, dia mencoba untuk mencari beberapa tips di google tentang penggunaan arah mata angin di Jogja.
“Ooh, ternyata kalo di Jogja tuh, biar paham mata angin harus paham beberapa patokan, jadi kalo di Jogja tuh, cara ingetnya, arah ke Merapi tu berarti utara, selatan tu Parangtritis. Paling engga harus tau itu, awalnya sih bingung, tapi lama kelamaan ya jadi terbiasa.”
“Ga sabar pengen ngerasain student life di Jogja, yang mana aku di sana bakal hidup sendiri dan nggak tau budayanya gimana”
Perbedaan budaya menjadi salah satu tantangan bagi para mahasiswa rantau yang berasal dari luar Jawa. Fenomena tersebut sering dikenal sebagai culture shock /gegar budaya. Tak jarang mahasiswa yang mengalami culture shock di awal perkuliahannya, misalnya terjadinya kesalahpahaman dikarenakan bahasa yang digunakan. Kebanyakan mahasiswa luar Jawa tidak mengetahui Bahasa Jawa, sementara bahasa Jawa adalah bahasa yang sering digunakan dalam berkomunikasi. Hal itu merupakan salah satu contoh culture shock dari sekian banyak culture shock yang dialami oleh setiap mahasiswa.
Sebelumnya, udah pada tau belum sih apa itu culture shock? Secara umum, culture shock/gegar budaya/kejut budaya adalah seseorang yang merasakan keterkejutan terhadap suatu budaya di lingkungannya yang baru. Hal itu dikarenakan budayanya yang berbeda dengan daerah asalnya. Orang tersebut biasanya akan mengalami kebingungan dan cemas dengan budaya di lingkungan baru tersebut, dia takut apabila tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungannya yang baru. Tentunya hal ini tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa, siapapun bisa merasakannya dan tidak memandang umur maupun status orang tersebut. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan penjelasan yang lebih detail terkait dengan culture shock.
Istilah “culture shock” pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (dalam Dayaksini, 2004) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingaran budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. (Chasannah, Uswatun. 2017)
Caca (20) sempat shock di awal perkuliahannya, ia menyadari bahwa ia tak dapat menghindari culture shock ini. Perbedaan budaya, bahasa, perilaku, dan suasana di Jogja sangat berbanding terbalik dengan suasana di kampung halamannya.
“Awalnya nih, aku sempet bingung pas denger orang ngomong ‘selo’, udah kayak nebak-nebak artinya tapi kok ngga nyambung juga.”
Bahasa menjadi tantangan culture shock yang paling kerasa. Awalnya memang terasa sulit bagi Caca, akan tetapi seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan Bahasa Jawa. Bungsu dari 3 bersaudara itu pun harus belajar menambah kosakata Bahasa Jawa yang sering digunakan sehari-hari. Sedikit demi sedikit ia mulai tahu apa arti opo, sopo, ning endi, meski belum banyak tetapi setidaknya ia sudah mengerti perkataan umum yang sering digunakan.
Tentu saja bukan hanya perihal bahasa, culture shock, yang ia alami. Ia juga sempat terkejut dengan bagaimana cara orang Jawa menunjukkan arah kepada orang lain. Kalau di daerah asalnya Lampung, menunjukkan arah ditunjukkan dengan menunjukkan kanan atau kiri. Berbeda dengan di Jawa, mereka menunjukkan arah kepada orang lain dengan menggunakan arah mata angin. Pernah suatu waktu di awal perkuliahannya saat berkomunikasi dengan salah satu bapak gojek.
“Mbak jalan ke arah timur ya, saya ada di seberang jalan ya”, kata salah seorang driver ojek online kepada Caca.
Dia mengaku sempat kebingungan dan mengatakan bahwa dia tidak terlalu paham dengan arah mata angin. Karena keadaan yang memaksakan dia untuk mengerti arah mata angin, dia mencoba untuk mencari beberapa tips di google tentang penggunaan arah mata angin di Jogja.
“Ooh, ternyata kalo di Jogja tuh, biar paham mata angin harus paham beberapa patokan, jadi kalo di Jogja tuh, cara ingetnya, arah ke Merapi tu berarti utara, selatan tu Parangtritis. Paling engga harus tau itu, awalnya sih bingung, tapi lama kelamaan ya jadi terbiasa.”
Selain itu, culture shock ketiga yang ia alami adalah perihal makanan. Orang Sumatera biasanya
terkenal dengan selera makannya yang pedas, karena kebanyakan makanan
tradisional khas Sumatera selalu memiliki rasa pedas, dan itulah yang menjadi
khasnya. Misalnya jika kalian, sahabat anak kos, memiliki teman yang berasal
dari Sumatera, kalau kalian memperhatikan, pasti mereka suka banget sama
makanan pedes, misal beli ayam geprek, pasti cabe nya level 5 ke atas, ya
nggak? Nah, salah satunya si Caca ini, si penyuka pedas yang nggak bisa makan
tanpa sambel. Menurut dia, makan tanpa sambel tu ibarat taman tak berbunga,
kurang lengkap gitu.
Kalau Sumatera
terkenal dengan makanan pedasnya, Jogja terkenal dengan makanan manisnya, kalau
makanannya aja manis, apalagi orangnya, hahaha. Orang-orang yang berkunjung ke
Jogja biasanya nggak akan melewatkan makanan yang satu ini, ya, gudeg. Makanan
tradisional khas Jogjakarta yang terbuat dari nangka dan gula jawa yang diolah
sedemikian rupa dan juga biasanya akan
disajikan dengan telur, krecek, tempe, dan juga nasi yang hangat.
Gudeg sudah bukan
merupakan hal yang baru bagi Caca karena dia sudah pernah dimasakkan oleh
ibunya saat di rumah, Lampung. Orang tuanya memang asli dari Jawa, tetapi
karena Caca lahir dan besar di Lampung, dia tidak bisa berbahasa Jawa dan Jawa
adalah hal yang baru baginya. Akan tetapi, saat dia mencoba merasakan gudeg
yang asli buatan orang Jogja, ia kaget.
“Aku
nggak nyangka deh, kenapa rasanya semanis ini, lebih manis dari yang aku kira,
aku kira nggak bakal semanis ini rasanya”.
Semenjak saat itu,
dia jadi tidak terlalu menyukai gudeg, karena terlalu manis baginya. Tentu
saja, mungkin hal ini tidak hanya dirasakan oleh Caca. Sahabat anak kos di sini
mungkin ada yang pernah merasakan hal yang sama.
Jogja tak hanya
dikenal dengan makanannya saja yang manis, Jogja juga terkenal dengan
orang-orangnya yang ramah. Hal itu sempat dituturkan oleh Caca, bahwa orang
Jogja begitu ramah dan sopan. Dengan beberapa culture shock yang telah ia ceritakan di atas, tidak membuatnya
menjadi merasa insecure, ia justru
merasa lebih tertarik dengan budaya-budaya Jawa dan ingin mengetahui lebih
banyak mengenai budaya Jawa terutama Jogja.
“Aku terlanjur jatuh cinta
dengan kota ini, kota ini mampu membuatku nyaman berada di sini, kota dengan
segala budayanya yang beragam, membuat terasa indah dan sempurna. Bukan berarti
aku tidak ingin kembali ke kampung halamanku, akan tetapi, kota ini selalu seperti membuatku ingin
segera kembali ke Jogja.”
Kesimpulannya, tak
perlu merasa cemas saat kalian ada di lingkungan yang baru. Culture shock adalah hal yang wajar, tak
perlu takut. Karena kalian memang harus melewati masa-masa adaptasi dengan
lingkungan baru, toh nanti kalian juga akan terbiasa dengan budaya di
lingkungan baru itu, atau bahkan justru kalian bisa jatuh cinta dengan kota
itu, Jogja misalnya.