Pengalaman Jualan Es Teh di Konser Didi Kempot
Jualan Es Teh di Konser Didi Kempot - Minggu, 1 Desember 2019, saya dan dua teman berjualan es teh secara asongan di Stadion Mandala Krida Yogyakarta yang sedang berlangsung acara Konser Didi Kempot. Ide jualan es teh ini berawal dari obrolan tak sengaja dengan seorang kawan. Awalnya dia mengajak jualan buku namun saya bilang kurang cocok karena itu bukan acara yang berkaitan dengan literasi/keilmuan. Yang cocok menurut saya adalah jualan es teh, sebab banyak orang yang kehausan sebab suasana panas dan capek selepas berjoged ria.
Konser Didi Kempot dimulai pukul 19.00 yang bersmaan dengan kick off pertandingan sepak bola SEA Games antara Timnas Indonesia melawan Timnas Vietnam. Persiapan jualan es teh dilakukan serba dadakan. Minggu pagi saya baru mencari resep membuat es teh lewat browsing di google dan menonton video tutorial di Youtube. Jam 3 siang saya membeli 4 bungkus teh poci dan 1 galon air isi ulang. Selepas asyar saya bersama seorang temen membeli gelas plastik 150 pcs, penutup gelas dan sedotan yang merogoh duit Rp. 72.000.
Sebelumnya kami sempat survei lokasi jualan. Panitia bilang pedagang asongan tidak boleh masuk ke dalam acara konser. Kami sedikit menyesalkan namun tidak sampai patah arang. Kami pikir, masih bisa jualan di dekat pintu masuk atau di sepanjang jalan luar yang bakal dilewati para penonton.
Saya dan teman saya yang bernama Ery mampir ke warung dekat SD Sapen, beli 2 Kg Gulaku, keluar duit Rp. 27.000. Menjelang magrib kami membuat ramuan teh di kos. Air direbus bersama 4 bungkus teh dan 2 Kg gula pasir. Alat-alatnya serba pinjam dari teman. Kompor gas juga pinjam. Kami tidak mau beli alat-alat dulu selagi masih bisa diakali dengan pinjam ke teman atau tetangga. Kalau harus beli dulu, butuh modal banyak. Lagi pula jualan es teh ini bukan kegiatan rutin. Nanti lah kalau jualan es teh sudah berjalan beberapa kali dan kelihatan untung banyak, barulah kami mau beli alat-alatnya seperti termos, nampan, centong dan lain-lain.
Selepas magrib, ramuan teh yang berdada dalam dandang sudah matang dan kami angkat dari kompor perebusan. Kami singkirkan tutup dandang dan mendiamkan ramuan teh agar suhunya menurun. Setelah itu kami masukan ke wadah dan kami beri campuran air putih biasa agar terjadi komposisi yang pas. Kemdudian kami beli es batu di warung dekat kos, pinjam martil ke tetangga buat ngepruki es batu. Es batu kami taruh ke dandang—sudah dicuci terlebih dahulu—karena kami tidak punya termos dan sudah mencoba pinjam ke takmir masjid tapi tidak dapat.
Setelah wara-wiri dan cukup capek, kami istirahat sejenak sambil streaming via HP untuk menonton Timnas Indonesia sampai selesai babak pertama Garuda Muda menang satu gol. Kami mencicipi es teh racikan kami. Teman kos kami yang bernama Armawan bilang enak. Aku pun ikut mencicipinya. Oh ya benar, enak rasanya. Mungkin ini berkat bantuan Lawi juga yang ikut membantu mengolah ramuan teh, rasanya jadi enak, sebab dia pernah berpengalaman.
Yang semula saya mau berjualan dengan Ery saja, akhirnya mengajak Lawi untuk ikut jualan. Akhirnya kami berangkat naik Gocar. Berangkat dari markas Rindu Buku, sampai Stadion Mandala Krida bayar Rp. 13.000. Keputusan naik Gocar sangat tepat sebab kalau naik motor susah bawa barangnya dan parkirnya mahal. Per motor parkir Rp. 10.000. Gila, mahal banget!
Mulailah kami menata barang-barang dan bareng-bareng menggelasi es teh. Gelas-gelas es teh kami tata ke dalam nampan baskom kotak yang sebenarnya kurang “SNI” buat jualan es teh. Tapi yang penting masih bisalah dipakai. Meski kere, tapi harus ker(e)atif, entar juga bakal kaya raya. Tinggal tunggu waktu aja. Hehe.
Lawi menunggui barang-barang. Saya dan Ery jalan-jalan menawarkan ke setiap orang yang lalu lalang. Pembeli pertama kami dari bapak penjual aruma manis. Saya berikan segelas es teh, saya terima selembar uang Rp. 5.000 dan mengucapkan terim kasih pada beliau. Kami mondar-mandir tapi lumayan lama juga buat ngedapetin pelanggan kedua. Di dalam stadion masih artis pembuka yang nyanyi, yaitu Band Asal Kulonprogo yang bernama Guyon Waton. Tak lama kemudian Sang Legenda muncul dan menyapa para penonton. Lagu pertama meluncur. Para penonton mulai antusias bergoyang dan nyanyi bareng-bareng.
Ery mengajak saya jualan ke dalam yang lebih banyak orangnya. Saya pun ikut masuk ke dalam. Eh ternyata banyak banget penjual asongannya. Tadi sore kata panitia penjual asongan gak boleh masuk ke dalam, eh teranyata ini boleh. Di dalam banyak penjual. Ada yang gelar tikar, ada yang bawa gerobak, dan ada yang asongan. Para penjual di dalam terlihat pada profesional, sedangkan kami adalah pedagang asongan amatir dengan peralatan ala kadarnya.
Berkali-kali tawaran es teh ditimpali dengan gelengan kepala orang-orang baik tua muda laki dan perempun namun saya tidak kecewa. Saya terus berusaha menawarkan dagangan. Saya terus masuk ke dalam menyelinap di sela-sela tipis para manusia yang sedang bergoyang dan bernyanyi. Kebnyakan memang dari kalangan muda-mudi. Gaya joget mereka beraneka rupa. Mereka seperti sangat larut dalam lantunan lagu-lagu The Godfather of Broken Heart yang kebanyakan menceritakan tentang patah hati karena disakiti dan dikhianati. Mereka seperti menghayati patah hati, tapi secara bersamaan seperti bergemberia.
Berkali-kali bilang, “es teh, es teh, seger, seger” tapi sering dapat jawaban “nggak, Mas.” Saya terus mencoba. “Es teh, es teh.... rasakan kesegeran surga.” Saya mulai gila. Beberapa orang nyengir melihat tingkah saya.
Saya terus merangsek ke dalam mendekati panggung. Menyelinap di antara anak-anak muda yang keranjingan joged mengikuti irama musik. Dengan pengertian, orang-orang memberi ruang saya untuk lewat. Tiap ganti lagu, saya terus menyanyi dengan kata-kata “eh teh es teh....” yang nadanya saya sesuikan dengan lagu yang sedang bersenandung. Beberapa orang ngakak karena menyaksikan cara saya menawarkan dagangan. Tapi imbasnya es teh saya jadi laris. Mungkin di dekat panggung banyak yang sudah berkeringat dan butuh pendingin. Akhirnya mereka beli ke saya dari pada jalan ke belakang, susah dan nanti kehilangan momen buat menikmati lagu-lagunya Didi Kempot.
Dari waktu ke waktu es teh terus laku. Masih banyak yang minta es teh namun sayang akhirnya yang menjawab, “habis.”
Sebenarnya, air tehnya masih ada. Es batunya yang sudah habis. Ini jadi pelajaran berharga bagi kami. Jika nanti mau jualan lagi, beli es batunya harus lebih dari 10 kantong.
Target kami mau jual 150 gelas, namun yang terjual sekitar 40 gelas saja, sekitar 5 gelas kami minum bersama, sekitar 5 gelas tumpah di perjalanan pas di tengah kerumanan orang-orang yang sedang berjoged gembira. Maklum, nampun kami tidak SNI. Kalau nampan penjual es teh lainnya ada bolong-bolong yang pas dengan gelas jadi aman, susah tumpahnya.
Menurut perhitungan, jualan kami hanya balik modal. Maka kami putuskan pulang tanpa naik Gocar. Ery menyuruh temannya buat jemput pakai motor. Selepas itu kami menghitung keuntungan jualan setelah dikurangi berbagai macam pengeluaran tersebutlah angka Rp. 53.000. Kemudian kami bagi tiga. Alhamdulillah. Selesai sudah misi kami hari itu. Meski tidak sempurna dan boleh disebut gagal, tapi tidak mengapa. Lebih baik gagal tapi pernah mencoba dari pada tidak pernah melakukan apa-apa. Ayo, kapan-kapan kita jualan es teh lagi. Siapa tahu bisa jadi kaya raya. Jogja, 5 Desember 2019 (sumber facebook: Amin Sahri)
Konser Didi Kempot dimulai pukul 19.00 yang bersmaan dengan kick off pertandingan sepak bola SEA Games antara Timnas Indonesia melawan Timnas Vietnam. Persiapan jualan es teh dilakukan serba dadakan. Minggu pagi saya baru mencari resep membuat es teh lewat browsing di google dan menonton video tutorial di Youtube. Jam 3 siang saya membeli 4 bungkus teh poci dan 1 galon air isi ulang. Selepas asyar saya bersama seorang temen membeli gelas plastik 150 pcs, penutup gelas dan sedotan yang merogoh duit Rp. 72.000.
Sebelumnya kami sempat survei lokasi jualan. Panitia bilang pedagang asongan tidak boleh masuk ke dalam acara konser. Kami sedikit menyesalkan namun tidak sampai patah arang. Kami pikir, masih bisa jualan di dekat pintu masuk atau di sepanjang jalan luar yang bakal dilewati para penonton.
Persiapan Pembuatan Es Teh di Konser Didi Kempot
Saya dan teman saya yang bernama Ery mampir ke warung dekat SD Sapen, beli 2 Kg Gulaku, keluar duit Rp. 27.000. Menjelang magrib kami membuat ramuan teh di kos. Air direbus bersama 4 bungkus teh dan 2 Kg gula pasir. Alat-alatnya serba pinjam dari teman. Kompor gas juga pinjam. Kami tidak mau beli alat-alat dulu selagi masih bisa diakali dengan pinjam ke teman atau tetangga. Kalau harus beli dulu, butuh modal banyak. Lagi pula jualan es teh ini bukan kegiatan rutin. Nanti lah kalau jualan es teh sudah berjalan beberapa kali dan kelihatan untung banyak, barulah kami mau beli alat-alatnya seperti termos, nampan, centong dan lain-lain.
Selepas magrib, ramuan teh yang berdada dalam dandang sudah matang dan kami angkat dari kompor perebusan. Kami singkirkan tutup dandang dan mendiamkan ramuan teh agar suhunya menurun. Setelah itu kami masukan ke wadah dan kami beri campuran air putih biasa agar terjadi komposisi yang pas. Kemdudian kami beli es batu di warung dekat kos, pinjam martil ke tetangga buat ngepruki es batu. Es batu kami taruh ke dandang—sudah dicuci terlebih dahulu—karena kami tidak punya termos dan sudah mencoba pinjam ke takmir masjid tapi tidak dapat.
Setelah wara-wiri dan cukup capek, kami istirahat sejenak sambil streaming via HP untuk menonton Timnas Indonesia sampai selesai babak pertama Garuda Muda menang satu gol. Kami mencicipi es teh racikan kami. Teman kos kami yang bernama Armawan bilang enak. Aku pun ikut mencicipinya. Oh ya benar, enak rasanya. Mungkin ini berkat bantuan Lawi juga yang ikut membantu mengolah ramuan teh, rasanya jadi enak, sebab dia pernah berpengalaman.
Yang semula saya mau berjualan dengan Ery saja, akhirnya mengajak Lawi untuk ikut jualan. Akhirnya kami berangkat naik Gocar. Berangkat dari markas Rindu Buku, sampai Stadion Mandala Krida bayar Rp. 13.000. Keputusan naik Gocar sangat tepat sebab kalau naik motor susah bawa barangnya dan parkirnya mahal. Per motor parkir Rp. 10.000. Gila, mahal banget!
Mulailah kami menata barang-barang dan bareng-bareng menggelasi es teh. Gelas-gelas es teh kami tata ke dalam nampan baskom kotak yang sebenarnya kurang “SNI” buat jualan es teh. Tapi yang penting masih bisalah dipakai. Meski kere, tapi harus ker(e)atif, entar juga bakal kaya raya. Tinggal tunggu waktu aja. Hehe.
Lawi menunggui barang-barang. Saya dan Ery jalan-jalan menawarkan ke setiap orang yang lalu lalang. Pembeli pertama kami dari bapak penjual aruma manis. Saya berikan segelas es teh, saya terima selembar uang Rp. 5.000 dan mengucapkan terim kasih pada beliau. Kami mondar-mandir tapi lumayan lama juga buat ngedapetin pelanggan kedua. Di dalam stadion masih artis pembuka yang nyanyi, yaitu Band Asal Kulonprogo yang bernama Guyon Waton. Tak lama kemudian Sang Legenda muncul dan menyapa para penonton. Lagu pertama meluncur. Para penonton mulai antusias bergoyang dan nyanyi bareng-bareng.
Ery mengajak saya jualan ke dalam yang lebih banyak orangnya. Saya pun ikut masuk ke dalam. Eh ternyata banyak banget penjual asongannya. Tadi sore kata panitia penjual asongan gak boleh masuk ke dalam, eh teranyata ini boleh. Di dalam banyak penjual. Ada yang gelar tikar, ada yang bawa gerobak, dan ada yang asongan. Para penjual di dalam terlihat pada profesional, sedangkan kami adalah pedagang asongan amatir dengan peralatan ala kadarnya.
Berkali-kali tawaran es teh ditimpali dengan gelengan kepala orang-orang baik tua muda laki dan perempun namun saya tidak kecewa. Saya terus berusaha menawarkan dagangan. Saya terus masuk ke dalam menyelinap di sela-sela tipis para manusia yang sedang bergoyang dan bernyanyi. Kebnyakan memang dari kalangan muda-mudi. Gaya joget mereka beraneka rupa. Mereka seperti sangat larut dalam lantunan lagu-lagu The Godfather of Broken Heart yang kebanyakan menceritakan tentang patah hati karena disakiti dan dikhianati. Mereka seperti menghayati patah hati, tapi secara bersamaan seperti bergemberia.
Berkali-kali bilang, “es teh, es teh, seger, seger” tapi sering dapat jawaban “nggak, Mas.” Saya terus mencoba. “Es teh, es teh.... rasakan kesegeran surga.” Saya mulai gila. Beberapa orang nyengir melihat tingkah saya.
Saya terus merangsek ke dalam mendekati panggung. Menyelinap di antara anak-anak muda yang keranjingan joged mengikuti irama musik. Dengan pengertian, orang-orang memberi ruang saya untuk lewat. Tiap ganti lagu, saya terus menyanyi dengan kata-kata “eh teh es teh....” yang nadanya saya sesuikan dengan lagu yang sedang bersenandung. Beberapa orang ngakak karena menyaksikan cara saya menawarkan dagangan. Tapi imbasnya es teh saya jadi laris. Mungkin di dekat panggung banyak yang sudah berkeringat dan butuh pendingin. Akhirnya mereka beli ke saya dari pada jalan ke belakang, susah dan nanti kehilangan momen buat menikmati lagu-lagunya Didi Kempot.
Dari waktu ke waktu es teh terus laku. Masih banyak yang minta es teh namun sayang akhirnya yang menjawab, “habis.”
Pelajaran dari Jualan es teh di acara konser
Sebenarnya, air tehnya masih ada. Es batunya yang sudah habis. Ini jadi pelajaran berharga bagi kami. Jika nanti mau jualan lagi, beli es batunya harus lebih dari 10 kantong.
Target kami mau jual 150 gelas, namun yang terjual sekitar 40 gelas saja, sekitar 5 gelas kami minum bersama, sekitar 5 gelas tumpah di perjalanan pas di tengah kerumanan orang-orang yang sedang berjoged gembira. Maklum, nampun kami tidak SNI. Kalau nampan penjual es teh lainnya ada bolong-bolong yang pas dengan gelas jadi aman, susah tumpahnya.
Menurut perhitungan, jualan kami hanya balik modal. Maka kami putuskan pulang tanpa naik Gocar. Ery menyuruh temannya buat jemput pakai motor. Selepas itu kami menghitung keuntungan jualan setelah dikurangi berbagai macam pengeluaran tersebutlah angka Rp. 53.000. Kemudian kami bagi tiga. Alhamdulillah. Selesai sudah misi kami hari itu. Meski tidak sempurna dan boleh disebut gagal, tapi tidak mengapa. Lebih baik gagal tapi pernah mencoba dari pada tidak pernah melakukan apa-apa. Ayo, kapan-kapan kita jualan es teh lagi. Siapa tahu bisa jadi kaya raya. Jogja, 5 Desember 2019 (sumber facebook: Amin Sahri)