Tanggapan Muhammad al-Fayyadl Terkait Ceramah Gus Muwafiq yang dituduh Menghinan Nabi
Tanggapan Muhammad al-Fayyadl Terkait Ceramah Gus Muwafiq - Ini sekadar butir-butir ringkasan dari pengamatan alfaqir secara pribadi dan tanggapan atas merebaknya kontroversi ceramah Maulid Nabi oleh Mas Ahmad Muwafiq (MAM) atau Gus Muwafiq.
1/ Satu fragmen dari ceramah MAM pada momen pengajian Maulid yang kontroversial itu, secara retoris dan melihat substansinya, memang keliru, dan bukan saja tak tepat. Lihat mimik wajahnya, ada kesan menyepelekan dan mengentengkan (istikhfaf) terhadap “khilafiyah” (perbedaan pendapat/perbedaan versi riwayat) mengenai sejumlah aspek dari Kelahiran Rasulullah Muhammad (shallallahu ‘alahi wa sallam). MAM menafikan dan mementahkan pendapat-pendapat ulama seputar, pertama-tama, adanya pancaran sinar pada jasad Rasulullah kala lahir. Ia bahkan tidak melakukan takwil sufistik atau metafisik atas “cahaya” tersebut—yang sebenarnya sangat mungkin kalau melihat posisinya sebagai “budayawan” NU. Ekspresi wajahnya kala mengisahkan semua itu memang menyinggung, dan sungguh tak patut. Bukan cerminan adab selayaknya orang yang menyitir Rasulullah. Tidak ada “‘ayn at-ta’dhiim” (raut penghormatan) terhadap nama Nabi. Itu tinjauan bahasa mimik dan retoris.
Dilihat dari substansinya, ada beberapa poin yang dipermasalahkan. Satu, soal ada-tidaknya cahaya Nabi pada momen kelahiran.
Dua, soal kondisi Nabi di masa kanak-kanak yang pernah “rembes” (kata ini kemudian menjadi multitafsir).
Tiga, soal kondisi masa kanak-kanak Nabi yang disebut-sebut tidak begitu terurus oleh kakeknya, Sayyidina Abd Muththalib r.a.
Mengenai soal pertama, ada peluang dari penceramah untuk mengeksplorasi dimensi-dimensi “cahaya” pada momen persalinan ibunda Rasulullah, Sayyidah Aminah r.a., dengan penalaran logis, filosofis, atau metafisik, bahkan metaforis (sastrawi) yang memungkinkan pendengarnya menghayati momen kelahiran itu dengan intelektualitas yang kaya dan sarat emosi bahkan spiritualitas. Namun, itu tidak dilakukannya. Dengan gaya “realisme vulgar”, artinya memaknai sesuatu hanya pada objeknya yang fisik dan empiris, MAM memaknai cahaya sebagai “sinar” yang bisa dilihat dan diukur secara fisik. Ini vulgar, dan tidak memadai menggambarkan kekayaan nuansa pada momen kelahiran suci tersebut. Memang, salah satu di antara riwayat bersanad Shahih yang kita terima mengenai hal ini adalah hadits riwayat ‘Irbadh bin Sariyah r.a., yang mengandung kata-kata Rasulullah menyifati kelahiran beliau:
ورؤيا امي التي رأت
“dan mimpi ibundaku yang melihat (sesuatu pada saat kelahiranku)”.
Yang diberi penjelasan oleh Sayyidina ‘Irbadh:
“Dan ibunda Rasulullah (shallahu ‘alaihi wasallam) (bermimpi) melihat cahaya, kala melahirkannya, yang membuat gemerlap istana-istana Syam” (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan Al-Hakim dengan sanad Shahih pada riwayat Ahmad).
Dari sinilah kita mengenal kekayaan narasi yang disajikan para ulama pengarang kitab Maulid. Seperti kata-kata Imam Abdurrahman Ad-Diba’i :
فاشرق ببهائه الفضا وتلألأ الكون من نوره واضا
“Maka memancarlah dengan pesonanya medan luas (dunia dan hamparannya), dan alam semesta menjadi gemerlap dari cahaya dan bersinar”.
Atau kita mengenal dalam kitab Maulid Imam al-Barzanji yang sangat populer redaksi berikut:
Apakah narasi-narasi ini mengada-ada, seperti terkesan dari penilaian MAM pada satu sesi pendek ceramahnya tersebut? Ini bisa jadi duel intelektual dan ruhani menarik antara MAM dan para pengarang kitab Maulid, sepeti Imam ad-Diba’ie atau al-Barzanji, yang pastinya bukan orang sembarangan dan memiliki “bashirah” (mata batin) dalam memaknai kelahiran Nabi (Rata-rata para pengarang Maulid adalah para ulama yang masyhur telah berkali-kali mengalami mimpi bertemu atau ditemui Rasulullah). Tapi baiklah, kalau kita tidak mampu “menerawang” ke dalam sisi itu, kita ambil pemaknaan atas makna “cahaya” dan “melihat” dalam teks-teks itu.
Ini tema klasik dalam literatur kesufian, yang pasti tidak asing bagi MAM. Kali ini alfaqir sedikit meninjaunya dari sudut pandang linguistik (lughawi) dan falsafi.
Pertama, di sana terdapat dua versi “melihat”. Dalam hadits riwayat Ahmad, ibunda Nabi melihat cahaya itu dalam mimpi, sebagai kabar gembira atas kelahiran putranya. Sedangkan para ulama Ashabul Maulid memaknainya sebagai melihat dalam mimpi sekaligus dengan mata kepala. Di sini kita tiba pada ambiguitas dan kekayaan tafsir kata “melihat”.
Secara ringkas, epistemologi Islam mengenai penglihatan tidak positivistik-empiris. Penglihatan pertama-tama terkait dengan level keimanan dan pengetahuan. Ada ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, dan Haqq al-Yaqin. Penglihatan yang hanya mengakui objeknya pada level empiris dengan mata kepala berada pada taraf ‘Ilm al-Yaqin. Penglihatan ini terbatas dan tidak mampu menangkap apa yang melampaui indera mata. Prinsip utama epistemologi Islam adalah: semakin tinggi tingkat keimanan dan pengetahuan, semakin ia mengakui yang luput dari mata kepala namun dapat ditangkap oleh “indera” batin (bashirah, qalbu, dll.).
Secara ringkas, cahaya kelahiran Rasulullah mungkin saja tidak terlihat dengan indera mata pada level ‘Ilm al-Yaqin, namun bisa ditangkap pada dua level di atasnya (‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin). Sebagaimana sebagian mimpi orang shalih memiliki kebenaran nyata (haqq), mimpi ibunda Nabi juga benar. Jika kita melihat di level mana mimpi ini berada, bisa dipastikan itu adalah Haqq al-Yaqin. Pada level ini, sebagian teori ulama mengatakan, ketika orang mencapai Haqq al-Yaqin, pemilahan antara objek yang bisa dilihat oleh mata kepala dan mata batin menjadi tidak berlaku. Ia bisa disaksikan sama validnya baik oleh mata kepala maupun mata batin. Ini berlaku pada banyak kasus para hamba pilihan Allah yang menyaksikan sesuatu atau kejadian dengan mata kepalanya, meski tak terlihat oleh mata orang lain.
Jika tidak mau berumit-rumit dengan alur pemaknaan ini, kita bisa mengambil “realisme” yang tampaknya menjadi pola pikir MAM. Misalnya dengan merujuk pada fakta adanya cahaya-cahaya fisik yang diberikan Allah sebagai mukjizat bagi para Nabi. Seperti cahaya putih pada tangan Nabi Musa a.s. Apabila Nabi Musa saja diberikan cahaya fisik sepert itu, bukankah Rasulullah lebih utama untuk memilikinya?
Motif untuk “memahamkan” generasi milenial tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan kemungkinan memaknai cahaya itu secara fisik. Tentu MAM juga mengerti apa yang dimaksud dengan “Nur Muhammad”. Nur itu meliputi aspek lahir maupun batin. Kalau niatnya memahamkan generasi milenial (meski alfaqir meragukan alasan itu, mengingat audiens pengajian rata-rata orang tua di desa setempat), MAM bisa mengambil analogi cahaya itu dengan sinar Handphone. Sinar Handphone atau Komputer itu nyata secara empiris, memiliki kadar radiasi. Jika benda mati seperti Handphone saja memiliki energi dan memancarkan radiasi tertentu, bagaimana dengan jisim Rasulullah yang hidup dan dianugerahi energi Cahaya Ilahi yang telah ada sejak sebelum penciptaan alam? Bukankah lebih masuk akal untuk juga bercahaya secara fisik? Bagi anak muda seperti alfaqir, seawam-awamnya generasi milenial, ini lebih masuk akal. Kalau belum bisa dipahami juga, kita bisa belajar kepada para fisikawan untuk soal ini.
Cara penyajian MAM atas kelahiran Rasulullah, meski niatnya mungkin hendak menonjolkan sisi manusiawi Rasulullah, sebenarnya agak mirip dengan pola pikir kaum Wahabi yang secara epistemologis menganut paham realisme vulgar dalam memaknai peristiwa-peristiwa metafisik. Kaum Wahabi tidak segan akan menolak adanya hal-hal “supranatural” lantaran semata-mata berpijak pada apa yang empiris, menolak takwil, dan bahkan menolak tasawuf. Ini sekadar catatan kritis. Bukan berarti MAM adalah seorang Wahabi. Dia, alfaqir yakin, adalah Nahdliyin tulen, bahkan juga dikenal aktivis hal-hal “supranatural” (ilmu kanuragan). Namun khusus mengenai poin ini, tampaknya ada kemiripan antara garis epistemologi kaum Wahabi dan tafsir MAM atas peristiwa pencahayaan pada momen kelahiran Rasulullah.
Bagi yang hendak memperdalam keimanan dan pemahaman atas dimensi-dimensi pencahayaan Rasulullah, sufi besar dari Andalusia, Imam Ibnu Sab’in (wafat 669 H), telah menulis karya yang sangat bagus tentang ini, “Anwar an-Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Asraruha wa Anwa’uha” (Cahaya-cahaya Nabi: Rahasia dan Ragamnya). Di dalam karya tersebut, Ibnu Sab’in menyebutkan dua jenis cahaya Nabi yang relevan dalam kasus MAM, dan sayangnya disangkalnya, yaitu “nur al-maulid” (cahaya yang mengiringi kelahiran Nabi) dan “nur al-khilqah” (artinya cahaya wujud fisik jasmani nabi dri ujung rambut hingga ujung kaki).
Soal kedua, dalam banyak riwayat, memang masa kecil Nabi pernah ditimpa sakit mata ringan (ramad). Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Itu semata-mata bukti bahwa jasad seorang Nabi pun bisa sakit, namun sakit yang manusiawi dan tidak merusak fitrah kenabiannya. Namun, ini tergantung dari konotasi dan denotasi apa yang dipakai MAM dengan kata “rembes”. Bila bermakna peyoratif, maka mengandung unsur penghinaan. Bila tidak, maka netral. Namun lagi-lagi ketika disampaikan dengan mimik dan intonasi yang terkesan menyepelekan, sebagian penonton pasti akan cenderung berpikir ini penghinaan. Di situ letak kekurangtepatannya. Menyebut sakit Nabi, selayaknya seorang Muslim melakukannya dengan menunjukkan rasa empati dan kesedihan, mengenang duka, derita, dan rasa sakit beliau.
Soal ketiga, menyebut masa kanak Rasulullah tidak terurus, secara tekstual dan logis, bertentangan dengan dua ayat dalam surat Adh-Dhuha:
ما ودعك ربك وما قلى
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”
الم يجدك يتيما فاوى
“Bukankah Dia mendapatimu sbg seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu)”
Secara logis, bagaimana mungkin Allah (subhanahu wa ta’ala) akan membiarkan telantar tak terurus seorang anak yang kelak dipersiapkan-Nya sebagai Kekasih dan Pembawa Risalah-Nya? Tanpa perlu berspekulasi lebih jauh, berbagai riwayat telah menunjukkan, meski masa kanak Nabi dipenuhi duka-nestapa, beliau tidak telantar dan senantiasa memperoleh pengasuhan terbaik dari orang-orang di sekelilingnya.
2/ Berbagai penafsiran dan tanggapan di atas barangkali mubazir, mengingat kontroversi ini telah melampaui ranah dalil dan diskusi ilmiah, dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang memiliki massa atau jamaah. Pada akhirnya, kita menyaksikan duel ironis dan lucu, yang lagi-lagi Su’ul Adab ditinjau dari akhlak kita kepada Rasulullah, antara gerakan “Kami bersama Gus Muwafiq” versus gerakan “Kami bersama Rasulullah”. Jelas tidak “apple-to-apple”. Lebay.
Problemnya merembet ke ormas. Di belakang MAM ada ormas NU, di belakang para pengkritiknya ada berbagai macam ormas, dari NU sampai FPI.
Berbicara politisasi kasus ini, bukan kali pertama di negeri ini. Lagi-lagi, soalnya statemen. Dari sejak Ahok hingga Sukmawati, berbagai upaya politisasi dilakukan. Siapa yang menangguk untung? Tidak ada. Semua dirugikan. Mungkin bukan kebetulan bahwa isu penistaan agama oleh MAM ini muncul berbarengan dengan rencana besar pemerintah menggolkan sejumlah Undang-undang pro-Investasi melalui Omnibus Law. Bukan tak mungkin, elite oligarki negeri ini sedang mengambil keuntungan dari terkurasnya energi umat untuk saling menjegal.
Menyederhanakan kelompok pengecam MAM sebagai “kadrun” atau “FPI”, jelas bias dan tidak komprehensif. Berbagai suara dari majelis shalawat, dari kalangan Habaib dan kiai yang tidak berpolitik praktis, menunjukkan bahwa reaksi atas MAM bukan semata-mata dari kelompok “Islam radikal”. Ia juga datang dari kalangan moderat NU sendiri, atau yang dekat pada kultur Nahdliyin.
Menyebut sesama Muslim sebagai “kadrun” (“kadal gurun”) juga sebentuk “sabb al-muslim” (mencaci sesama Muslim), yang sangat dilarang Rasulullah. Atas nama membela seorang tokoh dari tuduhan “sabb an-Nabi”, kita tega melakukan “sabb al-muslim”. Ini lingkaran seta
n ujaran kebencian yang sedang membelit umat Islam Indonesia, tak terkecuali kaum yang mengaku “moderat”.
Sekarang, bagaimana menghentikan agar ujaran kebencian ini tidak semakin memperkeruh umat? Berbagai ujaran -- beberapa muncul dari kalangan pesantren, seperti statemen Mbah Yai Muhammad Najieh Maimoen -- telah mengarah kepada persekusi dan wacana kekerasan (seruan membunuh atau memenjarakan). Ini di luar ekspektasi, dan bukan tak mungkin memicu tindakan-tindakan nekat.
Satu-satunya langkah yang mungkin, dan barangkali terbaik, adalah mengembalikan polemik ini kembali ke rel ilmiah, bukan pengkafiran, persekusi, atau adu-massa. Minta pertanggungjawaban ilmiah MAM secara publik. Minta juga tanggapan ilmiah para pengkritiknya. Biarkan jamaah menilai mana yang lebih bermutu. Bedah lagi historiografi Sirah Nabawiyah, diskusikan serta kontekstualkan dengan realitas Indonesia yang aktual dan Nusantara.
Atau, kalau itu dianggap terlalu berlebihan, tempatkan MAM bukan sebagai pakar sejarah, -- yang dituntut akurasinya -- melainkan sebagai “budayawan NU”. Itu tampaknya lebih pas, karena MAM lebih dikenal sebagai budayawan, orang yang mencoba memaknai pesan-pesan agama dengan media budaya.
Kali ini, ia mencoba menarasikan kisah Maulid dengan gaya khas tradisi lisan ala pendongeng dalam kisah-kisah “wayang”. Tujuannya, menampilkan versi yang “tidak resmi” tentang kisah-kisah para Nabi: versi “utak-atik ghatuk”, versi “lokal”. Versi yang berjarak dari apa yang ditemui di kitab-kitab kuning. Masalahnya, apakah strategi “naratologi” atas kisah Nabi seperti ini cocok dan pas untuk penonton Indonesia 2019 yang selalu disibukkan dengan sahut-ribut Lovers dan Haters? Untuk audiens milenial yang telanjur dijejali perang ujaran kebencian di dunia maya, dan di sisi lain, sedang dilanda gairah keagamaan yang luar biasa? Rasanya tidak cocok. Ia hanya cocok di alam Jawa setengah abad lalu, barangkali. Ketika ritme kehidupan lebih santai, orang menyimak lebih nikmat. Tidak dikejar apa-apa. Di pelosok desa-desa Jawa yang bersahutan suara pepohonan dan tembang. Itulah “alam” sebenarnya Mas Ahmad Muwafiq.
Menyikapi perbedaan pendapat, mari biasakan meng-HUJAH, bukan meng-HUJAT.
Umat Rasulullah dikenal oleh umat-umat terdahulu sebagai “al-hammaduun”, para pelantun pujian (tahmid). Jangan gegara kasus ini, kita lalu berubah dikenal menjadi “as-saabbuun”, para penghujat.[sumber facebook: muhammad al-fayyad]
1/ Satu fragmen dari ceramah MAM pada momen pengajian Maulid yang kontroversial itu, secara retoris dan melihat substansinya, memang keliru, dan bukan saja tak tepat. Lihat mimik wajahnya, ada kesan menyepelekan dan mengentengkan (istikhfaf) terhadap “khilafiyah” (perbedaan pendapat/perbedaan versi riwayat) mengenai sejumlah aspek dari Kelahiran Rasulullah Muhammad (shallallahu ‘alahi wa sallam). MAM menafikan dan mementahkan pendapat-pendapat ulama seputar, pertama-tama, adanya pancaran sinar pada jasad Rasulullah kala lahir. Ia bahkan tidak melakukan takwil sufistik atau metafisik atas “cahaya” tersebut—yang sebenarnya sangat mungkin kalau melihat posisinya sebagai “budayawan” NU. Ekspresi wajahnya kala mengisahkan semua itu memang menyinggung, dan sungguh tak patut. Bukan cerminan adab selayaknya orang yang menyitir Rasulullah. Tidak ada “‘ayn at-ta’dhiim” (raut penghormatan) terhadap nama Nabi. Itu tinjauan bahasa mimik dan retoris.
Dilihat dari substansinya, ada beberapa poin yang dipermasalahkan. Satu, soal ada-tidaknya cahaya Nabi pada momen kelahiran.
Dua, soal kondisi Nabi di masa kanak-kanak yang pernah “rembes” (kata ini kemudian menjadi multitafsir).
Tiga, soal kondisi masa kanak-kanak Nabi yang disebut-sebut tidak begitu terurus oleh kakeknya, Sayyidina Abd Muththalib r.a.
Mengenai soal pertama, ada peluang dari penceramah untuk mengeksplorasi dimensi-dimensi “cahaya” pada momen persalinan ibunda Rasulullah, Sayyidah Aminah r.a., dengan penalaran logis, filosofis, atau metafisik, bahkan metaforis (sastrawi) yang memungkinkan pendengarnya menghayati momen kelahiran itu dengan intelektualitas yang kaya dan sarat emosi bahkan spiritualitas. Namun, itu tidak dilakukannya. Dengan gaya “realisme vulgar”, artinya memaknai sesuatu hanya pada objeknya yang fisik dan empiris, MAM memaknai cahaya sebagai “sinar” yang bisa dilihat dan diukur secara fisik. Ini vulgar, dan tidak memadai menggambarkan kekayaan nuansa pada momen kelahiran suci tersebut. Memang, salah satu di antara riwayat bersanad Shahih yang kita terima mengenai hal ini adalah hadits riwayat ‘Irbadh bin Sariyah r.a., yang mengandung kata-kata Rasulullah menyifati kelahiran beliau:
ورؤيا امي التي رأت
“dan mimpi ibundaku yang melihat (sesuatu pada saat kelahiranku)”.
Yang diberi penjelasan oleh Sayyidina ‘Irbadh:
“Dan ibunda Rasulullah (shallahu ‘alaihi wasallam) (bermimpi) melihat cahaya, kala melahirkannya, yang membuat gemerlap istana-istana Syam” (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan Al-Hakim dengan sanad Shahih pada riwayat Ahmad).
Dari sinilah kita mengenal kekayaan narasi yang disajikan para ulama pengarang kitab Maulid. Seperti kata-kata Imam Abdurrahman Ad-Diba’i :
فاشرق ببهائه الفضا وتلألأ الكون من نوره واضا
“Maka memancarlah dengan pesonanya medan luas (dunia dan hamparannya), dan alam semesta menjadi gemerlap dari cahaya dan bersinar”.
Atau kita mengenal dalam kitab Maulid Imam al-Barzanji yang sangat populer redaksi berikut:
“dan mendekatlah kepadanya (Rasulullah) bintang-bintang (Sayyidah Aminah) Az-Zuhriyah; pelataran-pelataran tanah Haram dan pelosoknya menjadi terang; dan bersama (kelahirannya) keluar cahaya yang membuat gemerlapan istana-istana kekaisaran Syam; maka melihatnya orang-orang di lembah Makkah, negeri dan tempat kecukupannya”.
Apakah narasi-narasi ini mengada-ada, seperti terkesan dari penilaian MAM pada satu sesi pendek ceramahnya tersebut? Ini bisa jadi duel intelektual dan ruhani menarik antara MAM dan para pengarang kitab Maulid, sepeti Imam ad-Diba’ie atau al-Barzanji, yang pastinya bukan orang sembarangan dan memiliki “bashirah” (mata batin) dalam memaknai kelahiran Nabi (Rata-rata para pengarang Maulid adalah para ulama yang masyhur telah berkali-kali mengalami mimpi bertemu atau ditemui Rasulullah). Tapi baiklah, kalau kita tidak mampu “menerawang” ke dalam sisi itu, kita ambil pemaknaan atas makna “cahaya” dan “melihat” dalam teks-teks itu.
Ini tema klasik dalam literatur kesufian, yang pasti tidak asing bagi MAM. Kali ini alfaqir sedikit meninjaunya dari sudut pandang linguistik (lughawi) dan falsafi.
Pertama, di sana terdapat dua versi “melihat”. Dalam hadits riwayat Ahmad, ibunda Nabi melihat cahaya itu dalam mimpi, sebagai kabar gembira atas kelahiran putranya. Sedangkan para ulama Ashabul Maulid memaknainya sebagai melihat dalam mimpi sekaligus dengan mata kepala. Di sini kita tiba pada ambiguitas dan kekayaan tafsir kata “melihat”.
Secara ringkas, epistemologi Islam mengenai penglihatan tidak positivistik-empiris. Penglihatan pertama-tama terkait dengan level keimanan dan pengetahuan. Ada ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, dan Haqq al-Yaqin. Penglihatan yang hanya mengakui objeknya pada level empiris dengan mata kepala berada pada taraf ‘Ilm al-Yaqin. Penglihatan ini terbatas dan tidak mampu menangkap apa yang melampaui indera mata. Prinsip utama epistemologi Islam adalah: semakin tinggi tingkat keimanan dan pengetahuan, semakin ia mengakui yang luput dari mata kepala namun dapat ditangkap oleh “indera” batin (bashirah, qalbu, dll.).
Secara ringkas, cahaya kelahiran Rasulullah mungkin saja tidak terlihat dengan indera mata pada level ‘Ilm al-Yaqin, namun bisa ditangkap pada dua level di atasnya (‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin). Sebagaimana sebagian mimpi orang shalih memiliki kebenaran nyata (haqq), mimpi ibunda Nabi juga benar. Jika kita melihat di level mana mimpi ini berada, bisa dipastikan itu adalah Haqq al-Yaqin. Pada level ini, sebagian teori ulama mengatakan, ketika orang mencapai Haqq al-Yaqin, pemilahan antara objek yang bisa dilihat oleh mata kepala dan mata batin menjadi tidak berlaku. Ia bisa disaksikan sama validnya baik oleh mata kepala maupun mata batin. Ini berlaku pada banyak kasus para hamba pilihan Allah yang menyaksikan sesuatu atau kejadian dengan mata kepalanya, meski tak terlihat oleh mata orang lain.
Tanggapan Muhammad al-Fayyadl Atas Ceramah Gus Muwafiq Yang dituduh menghina Nabi
Jika tidak mau berumit-rumit dengan alur pemaknaan ini, kita bisa mengambil “realisme” yang tampaknya menjadi pola pikir MAM. Misalnya dengan merujuk pada fakta adanya cahaya-cahaya fisik yang diberikan Allah sebagai mukjizat bagi para Nabi. Seperti cahaya putih pada tangan Nabi Musa a.s. Apabila Nabi Musa saja diberikan cahaya fisik sepert itu, bukankah Rasulullah lebih utama untuk memilikinya?
Motif untuk “memahamkan” generasi milenial tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan kemungkinan memaknai cahaya itu secara fisik. Tentu MAM juga mengerti apa yang dimaksud dengan “Nur Muhammad”. Nur itu meliputi aspek lahir maupun batin. Kalau niatnya memahamkan generasi milenial (meski alfaqir meragukan alasan itu, mengingat audiens pengajian rata-rata orang tua di desa setempat), MAM bisa mengambil analogi cahaya itu dengan sinar Handphone. Sinar Handphone atau Komputer itu nyata secara empiris, memiliki kadar radiasi. Jika benda mati seperti Handphone saja memiliki energi dan memancarkan radiasi tertentu, bagaimana dengan jisim Rasulullah yang hidup dan dianugerahi energi Cahaya Ilahi yang telah ada sejak sebelum penciptaan alam? Bukankah lebih masuk akal untuk juga bercahaya secara fisik? Bagi anak muda seperti alfaqir, seawam-awamnya generasi milenial, ini lebih masuk akal. Kalau belum bisa dipahami juga, kita bisa belajar kepada para fisikawan untuk soal ini.
Cara penyajian MAM atas kelahiran Rasulullah, meski niatnya mungkin hendak menonjolkan sisi manusiawi Rasulullah, sebenarnya agak mirip dengan pola pikir kaum Wahabi yang secara epistemologis menganut paham realisme vulgar dalam memaknai peristiwa-peristiwa metafisik. Kaum Wahabi tidak segan akan menolak adanya hal-hal “supranatural” lantaran semata-mata berpijak pada apa yang empiris, menolak takwil, dan bahkan menolak tasawuf. Ini sekadar catatan kritis. Bukan berarti MAM adalah seorang Wahabi. Dia, alfaqir yakin, adalah Nahdliyin tulen, bahkan juga dikenal aktivis hal-hal “supranatural” (ilmu kanuragan). Namun khusus mengenai poin ini, tampaknya ada kemiripan antara garis epistemologi kaum Wahabi dan tafsir MAM atas peristiwa pencahayaan pada momen kelahiran Rasulullah.
Bagi yang hendak memperdalam keimanan dan pemahaman atas dimensi-dimensi pencahayaan Rasulullah, sufi besar dari Andalusia, Imam Ibnu Sab’in (wafat 669 H), telah menulis karya yang sangat bagus tentang ini, “Anwar an-Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Asraruha wa Anwa’uha” (Cahaya-cahaya Nabi: Rahasia dan Ragamnya). Di dalam karya tersebut, Ibnu Sab’in menyebutkan dua jenis cahaya Nabi yang relevan dalam kasus MAM, dan sayangnya disangkalnya, yaitu “nur al-maulid” (cahaya yang mengiringi kelahiran Nabi) dan “nur al-khilqah” (artinya cahaya wujud fisik jasmani nabi dri ujung rambut hingga ujung kaki).
Soal kedua, dalam banyak riwayat, memang masa kecil Nabi pernah ditimpa sakit mata ringan (ramad). Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Itu semata-mata bukti bahwa jasad seorang Nabi pun bisa sakit, namun sakit yang manusiawi dan tidak merusak fitrah kenabiannya. Namun, ini tergantung dari konotasi dan denotasi apa yang dipakai MAM dengan kata “rembes”. Bila bermakna peyoratif, maka mengandung unsur penghinaan. Bila tidak, maka netral. Namun lagi-lagi ketika disampaikan dengan mimik dan intonasi yang terkesan menyepelekan, sebagian penonton pasti akan cenderung berpikir ini penghinaan. Di situ letak kekurangtepatannya. Menyebut sakit Nabi, selayaknya seorang Muslim melakukannya dengan menunjukkan rasa empati dan kesedihan, mengenang duka, derita, dan rasa sakit beliau.
Soal ketiga, menyebut masa kanak Rasulullah tidak terurus, secara tekstual dan logis, bertentangan dengan dua ayat dalam surat Adh-Dhuha:
ما ودعك ربك وما قلى
“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”
الم يجدك يتيما فاوى
“Bukankah Dia mendapatimu sbg seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu)”
Secara logis, bagaimana mungkin Allah (subhanahu wa ta’ala) akan membiarkan telantar tak terurus seorang anak yang kelak dipersiapkan-Nya sebagai Kekasih dan Pembawa Risalah-Nya? Tanpa perlu berspekulasi lebih jauh, berbagai riwayat telah menunjukkan, meski masa kanak Nabi dipenuhi duka-nestapa, beliau tidak telantar dan senantiasa memperoleh pengasuhan terbaik dari orang-orang di sekelilingnya.
2/ Berbagai penafsiran dan tanggapan di atas barangkali mubazir, mengingat kontroversi ini telah melampaui ranah dalil dan diskusi ilmiah, dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang memiliki massa atau jamaah. Pada akhirnya, kita menyaksikan duel ironis dan lucu, yang lagi-lagi Su’ul Adab ditinjau dari akhlak kita kepada Rasulullah, antara gerakan “Kami bersama Gus Muwafiq” versus gerakan “Kami bersama Rasulullah”. Jelas tidak “apple-to-apple”. Lebay.
Problemnya merembet ke ormas. Di belakang MAM ada ormas NU, di belakang para pengkritiknya ada berbagai macam ormas, dari NU sampai FPI.
Berbicara politisasi kasus ini, bukan kali pertama di negeri ini. Lagi-lagi, soalnya statemen. Dari sejak Ahok hingga Sukmawati, berbagai upaya politisasi dilakukan. Siapa yang menangguk untung? Tidak ada. Semua dirugikan. Mungkin bukan kebetulan bahwa isu penistaan agama oleh MAM ini muncul berbarengan dengan rencana besar pemerintah menggolkan sejumlah Undang-undang pro-Investasi melalui Omnibus Law. Bukan tak mungkin, elite oligarki negeri ini sedang mengambil keuntungan dari terkurasnya energi umat untuk saling menjegal.
Menyederhanakan kelompok pengecam MAM sebagai “kadrun” atau “FPI”, jelas bias dan tidak komprehensif. Berbagai suara dari majelis shalawat, dari kalangan Habaib dan kiai yang tidak berpolitik praktis, menunjukkan bahwa reaksi atas MAM bukan semata-mata dari kelompok “Islam radikal”. Ia juga datang dari kalangan moderat NU sendiri, atau yang dekat pada kultur Nahdliyin.
Menyebut sesama Muslim sebagai “kadrun” (“kadal gurun”) juga sebentuk “sabb al-muslim” (mencaci sesama Muslim), yang sangat dilarang Rasulullah. Atas nama membela seorang tokoh dari tuduhan “sabb an-Nabi”, kita tega melakukan “sabb al-muslim”. Ini lingkaran seta
n ujaran kebencian yang sedang membelit umat Islam Indonesia, tak terkecuali kaum yang mengaku “moderat”.
Sekarang, bagaimana menghentikan agar ujaran kebencian ini tidak semakin memperkeruh umat? Berbagai ujaran -- beberapa muncul dari kalangan pesantren, seperti statemen Mbah Yai Muhammad Najieh Maimoen -- telah mengarah kepada persekusi dan wacana kekerasan (seruan membunuh atau memenjarakan). Ini di luar ekspektasi, dan bukan tak mungkin memicu tindakan-tindakan nekat.
Satu-satunya langkah yang mungkin, dan barangkali terbaik, adalah mengembalikan polemik ini kembali ke rel ilmiah, bukan pengkafiran, persekusi, atau adu-massa. Minta pertanggungjawaban ilmiah MAM secara publik. Minta juga tanggapan ilmiah para pengkritiknya. Biarkan jamaah menilai mana yang lebih bermutu. Bedah lagi historiografi Sirah Nabawiyah, diskusikan serta kontekstualkan dengan realitas Indonesia yang aktual dan Nusantara.
Atau, kalau itu dianggap terlalu berlebihan, tempatkan MAM bukan sebagai pakar sejarah, -- yang dituntut akurasinya -- melainkan sebagai “budayawan NU”. Itu tampaknya lebih pas, karena MAM lebih dikenal sebagai budayawan, orang yang mencoba memaknai pesan-pesan agama dengan media budaya.
Kali ini, ia mencoba menarasikan kisah Maulid dengan gaya khas tradisi lisan ala pendongeng dalam kisah-kisah “wayang”. Tujuannya, menampilkan versi yang “tidak resmi” tentang kisah-kisah para Nabi: versi “utak-atik ghatuk”, versi “lokal”. Versi yang berjarak dari apa yang ditemui di kitab-kitab kuning. Masalahnya, apakah strategi “naratologi” atas kisah Nabi seperti ini cocok dan pas untuk penonton Indonesia 2019 yang selalu disibukkan dengan sahut-ribut Lovers dan Haters? Untuk audiens milenial yang telanjur dijejali perang ujaran kebencian di dunia maya, dan di sisi lain, sedang dilanda gairah keagamaan yang luar biasa? Rasanya tidak cocok. Ia hanya cocok di alam Jawa setengah abad lalu, barangkali. Ketika ritme kehidupan lebih santai, orang menyimak lebih nikmat. Tidak dikejar apa-apa. Di pelosok desa-desa Jawa yang bersahutan suara pepohonan dan tembang. Itulah “alam” sebenarnya Mas Ahmad Muwafiq.
Menyikapi perbedaan pendapat, mari biasakan meng-HUJAH, bukan meng-HUJAT.
Umat Rasulullah dikenal oleh umat-umat terdahulu sebagai “al-hammaduun”, para pelantun pujian (tahmid). Jangan gegara kasus ini, kita lalu berubah dikenal menjadi “as-saabbuun”, para penghujat.[sumber facebook: muhammad al-fayyad]